Monday, February 16, 2015

Dunia Paralel

Cerpen By Ftrohx


Bisa dibilang kami adalah pasangan yang anti-mainstream, di saat orang-orang belum melakukan sesuatu kami sudah mengerjakan sesuatu, di saat orang-orang heboh akan hari valentine, kami tidak memperdulikannya.

Sampai malam ini, 15 Febuari.

Kami berada di restoran namun ini bukan untuk perayaan hari kasih sayang. Aku tidak terlalu peduli dengan trend itu, begitupula dengan istriku.

Kami di sini untuk mengambil nafas diantara sesak Jakarta, kami di sini untuk menyegarkan diri sebelum menghadapi esok pagi, karena besok adalah hari yang sangat-sangat berat untuknya, untuk kami sekeluarga.

Istriku adalah seorang Hakim, besok siang dia harus mengetok palu untuk sebuah kasus PENTING yang selama sebulan terakhir ini menyita perhatian media massa di seluruh penjuru Indonesia.


Bberharap untuk relaks tapi ketegangan itu benar-benar terasa ke ubun-ubun, ditambah lagi bisikan orang-orang di sekitar meja makanku. "Hei, bukannya itu si Hakim cantik yang ada di TV," atau "Itu Hakim cantik yang pulang dijemput Porsche," atau "Beruntung sekali itu cowoknya punya cewek secantik dan setangguh dia," atau "Suaminya itu siapa sih? Nggak terkenal ya?" atau "Rasanya nggak cocok itu suaminya, nggak ada wibawanya," dan sebagainya.

"Kamu nggak ada wibawanya ntuh," tiba-tiba dia berujar sambil tertawa kecil.

"Dari dulu kamu memang bilang begitu, tapi tetap saja pada akhirnya kamu balik lagi ke aku bukan," balasku.

"Iya ya, aneh, dari dulu kita selalu stag di tempat yang sama dengan orang sama,"

Aku tertawa.

Tak lama nasi goreng spesialpun datang, si pelayan tersenyum-senyum gugup di depan istriku. Mereka semua yang di belakang pasti juga membicarakannya.

"Kamu tahu semalam aku membuat tulisan baru,"ucapku sambil melihat dia mengunyah makanan dengan begitu nikmat.

"Oh, apa tuh?"

"Aku menulis, bagaimana jika kita menjadi orang lain,"

"Kita, kamu kali?"

"Nggak, kita bersama, aku dan kamu,"

Kepalanya menggeleng sambil tersenyum konyol.

"Tema-nya tentang dunia paralel," lanjutku. "Bagaimana jika kamu bukan seorang Hakim, kamu tidak pernah kuliah di jurusan Hukum di UI, kamu hidup dengan jalan lain, sesuatu yang berbeda, kamu hanya orang biasa dengan kecerdasan yang biasa, namun kamu tetap cantik seperti sekarang,"

"Hmm, menarik. Terus aku jadi apa?" tanyanya.

"Itu yang aku pikirkan semalaman, kira-kira kamu ngambil jurusan apa jika bukan hukum. Lalu aku teringat dengan masa-masa pacaran kita, kamu sangat menyukai Jejepangan, kita berdua saling konek gara-gara itu bukan, dan iya aku putuskan bagaimana jika kamu versi lain mengambil jurusan Sastra Jepang."

"Sastra Jepang," dia meneguk airnya, lalu tertawa. "Hahaha... itu konyol, kamu tahu jika aku tidak jadi Hakim aku ingin jadi polisi,"

"Iya, aku tahu,' sahutku cepat. "Aku juga memikirkan itu, tapi kalau kamu jadi polisi maka kamu akan bersaing dengan Briptu Eka,"

Dia membelalakan mata dan nyaris menyebur makanannya. "Jadi menurut kamu, Eka lebih cantik daripada aku!"

"Bukan, bukan begitu, maksudku," kedua tanganku terangkat ke udara, mencoba meyakinkannya. "Kamu tetap yang paling cantik, tapi jika kamu menjadi polisi kamu tidak akan se-keren sekarang,"

"Itu berarti Eka, lebih keren daripada aku,"

"Bukan itu maksudku," seandainya ini acara dunia lain pasti aku sudah melambaikan tangan ke kamera. "Di novelku yang lain, aku pernah membuat kamu menjadi AGEN RAHASIA yang super-keren bukan, dan jelas kamu jauh lebih cantik daripada Briptu Eka,"

Huh, wajahnya masih tetap cemberut.

Untuk beberapa saat kami terdiam menghabiskan makanan di piring saji, lalu dia bicara lagi. "Terus apa yang terjadi? Aku ingin dengar kelanjutannya,"

"Kamu kuliah sastra Jepang, tapi karakter kamu masih tetap sama seperti sekarang, kamu seorang idealis yang punya prinsip, namun juga orang yang realistis dalam melihat dunia dengan untung-rugi. Jadi pekerjaan yang cocok untuk kamu adalah menjadi pegawai di bank swasta,"

"Aku jadi Teller Bank?"

"Iya, semacam itu, kamu mungkin juga bisa dibagian admin ataupun back office."

"Terus apa serunya,"

"Serunya karena ada aku di sisi kamu," kembali serangan gombal.

"Ok, jika aku hanya jadi seorang teller cantik di dunia paralel, di sana kamu jadi apa?"

"Aku tetap jadi seorang penulis,"

Wajahnya kembali merengut. "Ah nggak, itu terlalu garing, kamu harus keluar dari zona nyaman. Kira-kira apa yang kamu lakukan jika tidak kuliah di jurusan Matematik?"

"Aku akan kuliah di STAN," jawabku cepat.

"Nggak hidup kamu pasti terlalu lurus jika kamu masuk di STAN, kamu butuh tragedi agar hidup kamu berwarna, kamu tidak lolos ujian STAN dan menganggur selama setahun," kembali si Tuan Putri mendominasi.

"Tapi aku harus kuliah mengimbangi kamu,"

"Iya tentu saja,"

"Dari dulu aku suka berkhayal jadi karyawan biasa dengan kehidupan biasa,"

"Kalau begitu kamu akan mendapat cewek yang biasa-biasa saja, dan itu bukan aku,"

"Nggak, bukan itu, maksudku untuk jadi karyawan biasa aku harus kuliah, dan aku akan mengambil jurusan Manajemen Keuangan,"

"Di UIN Ciputat,"

"Iya, di Ciputat, sama seperti sekarang. Bentar ini rasanya nggak adil kamu juga butuh tragedi, kamu nggak lulus Akpol, malu dan kemudian pergi ke Padang selama beberapa tahun,"

"APA," terlihat dia mengeryitkan dahi, lalu hidungnya terlihat naik ke atas seperti banteng yang ingin menyeruduk. "Ok, kamu butuh tragedi, kamu kuliah di jurusan Manajemen Keuangan, tapi kamu tidak lulus karena kamu tidak punya biaya untuk mengerjakan skripsi, kamu nggak punya laptop, dan nggak punya ongkos buat berangkat ke kampus. Selama 3 tahun kamu nganggur hingga kemudian kamu mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga warnet yang sangat gembel," benar-benar pembalasan yang kejam. Inilah dia Sang Putri auranya begitu kuat memenuhi seluruh ruangan, sampai-sampai aku yang biasanya sangat cerewet bisa kehilangan kata-kata. Bisa dibilang, wajarlah jika kemarin di PN Jakarta Selatan seorang Jenderal pun pudar kewibawaannya ketika Hakim cantik ini mulai bicara.

"Ok, itu ide bagus," Oke otakku benar-benar blank.

"Satu pertanyaan," ucapnya dengan mata yang sangat sinis seperti Ratu dari para vampire. "Kamu tidak kuliah di jurusan matematik, kamu tidak punya gelar S2 dari London, setiap kaki dan tangan kamu aku potong, apakah kamu bisa berada di posisi kamu yang sekarang, mendapatkan Edgar Award dan gelar New York Bestseller?"

SKAK MAT!

Dipikirkan dengan berbagai macam strategipun, rasanya sangat-sangat sulit untuk aku yang di dunia paralel untuk mencapai posisiku sekarang; menjadi penulis Bestseller dengan banyak penghargaan International dan menikah dengan seorang cewek cantik nan luar biasa hebat. Rasanya dia harus berjuang dengan sangat-sangat keras untuk bisa duduk di sini.

"Iya, nasibnya benar-benar na'as. Tapi masih ada harapan, selama dia memiliki orang yang dia cintai, seperti aku mencintai kamu," ujarku.

Tuan Putri pun tertawa. "Hahaha... Kamu tahu, aku yang ada di dunia paralel itu bisa jadi lebih KEJAM daripada aku yang ada di sini, dan di sana mungkin aku tidak akan memberi kamu kesempatan sama sekali," tatapan matanya benar-benar nyata menatapku, seperti hantu dari korban pembunuhan yang membalas dendam.

"Iya kamu benar, tapi aku YAKIN dengan diriku yang ada di sana, dia pasti berusaha keras untuk mengejar MIMPI-nya sekalipun takdir memutilasi hidupnya," ujarku dengan tegas.

Secara ajaib, bibirnya kembali menyunging senyum dan kami berdua tiba-tiba meledakan tawa bersamaan, seolah kami merayakan semua kebahagian yang ada pada hari itu.

Tak lama aku memanggil pelayan dan membayar bill-nya.

Kami berjalan keluar bersama, lalu belum sampai parkiran, seseorang menyapa kami. "Mbak Hakim cantik yang di TV itu ya?" ucapnya seorang ibu-ibu yang mengenakan kerudung warna toska.

"Iya," ucap istriku.

"Boleh minta foto," Ibu-ibu itu berujar disusul dengan Ibu-ibu lain yang langsung berdiri mengapitnya. Lalu di depan kami berdiri seorang lelaki 40an yang berjalan bersama rombongan itu ikut memegang kamera, seolah mereka sudah siap mengantri giliran.

Aku tersenyum-senyum sendiri. Rasanya fenomena ini cuma ada di Indonesia, seorang Hakim cantik yang pulang mengenakan sweater warna pink.

.  .  .

No comments:

Post a Comment