Wednesday, February 4, 2015

Cerita Gadis Labirin

By Ftrohx


Ruangan itu putih bersih, dengan sedikit perabotan yang membuatnya menjadi terlihat luas. Terdapat jendela kaca besar di sana yang memberi pemandangan taman hijau di samping.

Aroma teh Earl Grey yang disajikan tuan rumah memenuhi seluruh ruangan.

Sembari meminum teh, si gadis mencoba untuk duduk se-relaks mungkin sebelum menceritakan masalah hidupnya.



"Mimpi buruk lagi?" tanya si psikiater wanita.

"Iya," jawab si gadis sambil menganggukkan kepala.

Si psikiater terlihat cool dengan cangkir teh ditanganya. "Sama seperti kemarin?"

"TIdak, kali ini berbeda,"

"Apa yang paling kamu ingat dalam mimpi itu?"

Si gadis meletakkan cangkirnya, tangannya berganti meremas lutut. "Aku ingat semuanya,"

Psikiater ikut meletakkan cangkirnya. Dia menyilangkan kaki, dan tangannya naik ke dagu, matanya memandang dengan benar-benar intens, seolah dia melakukan analisa pasien sebelum pasien menunjukkan reaksi. "Iya, coba kamu ceritakan,"

Bibir si gadis bergetar namun dia berusaha untuk bicara dan melawan ketakutannya.

“Aku berada di lorong yang gelap, lorong itu seperti di apartemenku, hanya saja jauh lebih panjang, dengan nyaris semua lampunya padam. Aku tidak bisa melihat pintu di sana, tak ada apa-apa seolah semuanya hanyalah dinding tanpa jalan keluar. Udaranya pun lembab dan sesak seolah aku berada di sumur yang dalam. Aku tidak mendengar satu pun suara, aku tidak merasakan ada manusia di dekatku, dan sama-sama sekali tidak ada tanda-tanda kehidupan,”

Bulu kuduk si gadis merinding, dia merasakan keringat dingin mengalir di dahinya. “Aku benar-benar sendirian di sana.“

Psikiater terus menyorot matanya.

“Aku berjalan jauh, aku kedinginan, gemetaran dan ketakutan. Aku putusasa aku tidak menemukan jalan keluar dari tempat tersebut. Dalam perjalanan aku merasakan tanganku menggenggam sesuatu. Aku mengangkatnya dan melihatnya, itu adalah pisau dapur. Pisau dapur yang berkilau, tajam, dan sangat besar seperti golok yang biasa dipakai untuk membelah kelapa. Aku berjalan jauh, kemudian aku menemukan dua belokan, ke kiri dan ke kanan.”

Si gadis di kursi terapi tiba-tiba terdiam, seolah dia menahan diri untuk tidak bercerita.

"Lalu kamu mengambil yang mana?" wanita psikiater mengambil inisiatif.

"Aku mengambil kiri,"

"Lalu apa yang kamu temui?"

"Aku menemukan lorong yang sama, lalu aku menemukan pertigaan yang sama seperti sebelumnya, aku berjalan jauh kemudian aku bertemu lagi dengan pertigaan yang sama, berjam-jam seolah aku melewati satu tempat yang sama, tidak ada jalan keluar, tidak ada harapan. Sampai aku mendengar suara orang yang menertawaiku,”

“Tawa itu semakin dekat, dan aku merasa itu bukan tawa seorang manusia, dan memang itu bukan tawa manusia. Aku melihat mata yang menyala di kegelapan, aku senyum menyeringai dan taring yang tajam. Aku melihat kulitnya yang hitam dan berbulu, aku moncongnya, makhluk itu besar seperti serigala.Dia mendekatiku dan terus tertawa cekikan, Seolah dia bisa membaca pikiranku yang tidak berdaya, seolah dia tahu bahwa aku begitu ketakutan, dia terus tertawa dan aku tahu dari matanya dia sangat ingin memakanku.”

Si gadis di kursi terapi kembali terdiam.

"Lalu apa yang terjadi?" tanya wanita psikiater.

Si gadis cantik mengusap airmatanya.

“Aku berlari menghindarinya, aku terus berlari, aku tidak ingin menoleh ke belakang,” nafas si gadis terengah seolah dia berada di sana berlari. “Makhluk dengan tawa mengerikannya itu terus mengejarku, namun tidak begitu dekat, dia terus tertawa dan membiarkanku berlari hingga kelelahan. Melewati lorong demi lorong, belokan demi belokan, aku benar-benar kelelahan, dan aku terjatuh. Saat itulah makhluk buas itu menerkamku, rahangnya yang besar itu nyaris merobek memenggal leherku.Tapi baru sebuah goresan taringnya menyentuhku, tiba-tiba dia berhenti, dia mengejang, dan jatuh di sampingku.

“Apa yang terjadi?”

“Aku membunuhnya,” si gadis kembali menumpahkan airmatanya, disenggukan dan kedua tangan menjambak rambutnya sendiri. “Tanpa sadar tanganku sudah bersimbah darahnya, tanpa sadar aku telah merobek tubuhnya dengan pisau yang kugenggam. Darah itu tumpah begitu banyak hingga menggenangi lantai. Aku berdiri dan darah itu menempel pada telapak kakiku.” 

“Aku berjalan dengan lulai, menjauh dari jasad tersebut, tanganku masih menggenggam pisau itu, ingin rasanya aku lepaskan tapi aku takut ada bahaya lain yang mengancamku. Dan benar saja, belum lama berjalan aku mendengar suara tawa itu lagi, kali ini tawanya menggema di lorong seolah ada lebih dari satu makhluk tersebut, Tawa cekikikan itu semakin keras terdengar, aku menangis dan bersandar di tembok, aku memejamkan mata, dan menutup telinga. Namun suara itu semakin dekat dan terus menerorku. Kubuka mata, dan aku melihat mata bercahaya hijau itu menatapku kali ini mata itu ada dua pasang, dan benar seperti firasatku mereka dengan jauh lebih buruk. Kali ini tidak seperti sebelumnya, tanpa basa basi mereka langsung menyerangku, dan entah bagaimana tubuhku bergerak sendiri, dia bergerak dengan insting untuk bertahan hidup,”

Tangan si psikiater kembali mengangkat dagunya. “Kamu membantai mereka?”

“Iya,” si gadis tertawa kering. “Tanganku menari, menusuk, dan membacok wajah makhluk-makhluk itu, aku benci dan takut melihat matanya, karena aku menebas matanya. Aku menjerit sendirian, aku terengah-engah, dan mereka tergeletak di sana. Mereka tidak bergerak ataupun tertawa lagi, lalu aku terjatuh di lutut dan kehabisan nafas. Mataku terus mengalirkan airnya, hingga membasahi seluruh wajahku. Seolah tubuhku ingin membersihkan diri darah para monster ini. Kemudian aku sadar bahwa akulah yang menjadi monster untuk mereka, akulah yang menghabisi mereka. Mimpi itu benar-benar buruk seolah tiada harapan akan sebuah jalan keluar. Aku bahkan berpikir untuk menusukan pisau itu ke leherku sendiri. 

Psikiater memahami arah imajinasi si gadis, dia tahu tipikal mimpi seperti ini mimpi yang cinematic ."Tapi mimpi kamu belum berakhir,"

"Iya, mimpi itu belum berakhir," kembali terdengar tawa keringnya. “Setelah aku bangkit dan berdiri, tak lama mereka muncul lagi, kali ini jumlahnya lebih banyak, mungkin makhluk seperti itu. Mereka tidak tertawa seperti makhluk-makhluk sebelumnya, kali ini mereka langsung mengeram dan mencabik, mereka terlihat sangat marah, mungkin yang kubunuh sebelumnya ada saudara-saudara mereka. Aku mencoba untuk mempertahankan hidupku, namun jumlah mereka terlalu banyak, tusukan dan tebasanku hanya sedikit mengenai mereka. Pada akhir aku terjatuh ke belakang dan pasrah, monster-monster itu mengoyak tubuhku, tangan, kaki, leher, bahkan wajahkupun mereka makan,”

“Kamu terbangun?” tanya psikiater. 

Si gadis menggeleng. “Tidak, bukan itu yang terjadi, justru aku aku mendengar suara seperti ledakan petasan, aku mendengarnya berkali-kali, dan cahaya berkelap-kelip di sana. Aku melihat tangan yang menarik tubuhku lalu semuanya kembali gelap. Aku terbangun di sebuah meja, tubuhku di selimut kain putih, aku menyibak kain itu dan turun dari meja. Melihat sekeliling, tempat itu seperti bangsal rumah sakit, ada meja-meja yang sama seperti yang kududuki, dan ada selimut putih yang menyelimuti mereka. Aku bertanya-tanya sendiri apakah aku sudah mati, dan apakah mereka adalah orang-orang mati. Aku melihat tangan dan kakiku, semuanya utuh, tidak ada bekas gigitan ataupun darah, begitupula dengan baju yang kukenakan. Baju itu tetap bersih.”

“Entah bagaimana tubuhku bergerak sendiri, aku turun dan mendekati meja lain di sebelahku, aku menyibab selimut itu, dan di sana ada sosok mayat lelaki yang telanjang, ada luka mengangga di dada dan lehernya. Wajahnya sangat pucat. Lalu secara tiba-tiba matanya membelalak, dan dia menatapku dengan wajah yang marah, seolah akulah yang membuat lubang besar di dadanya. Dia pun bangun dari meja tersebut, dan yang lainpun juga ikut bangun. Mereka semua berwajah pucat dan menyeramkan, mereka semua seolah sangat marah padaku yang mengganggu tidur abadi mereka.”

Si gadis kecil menundukan kepala, dia menangis, dan dia masih merasakan trauma itu, seolah mimpi itu benar-benar nyata. 

Psikater wanita pun memberinya tisu. "Lalu,"

"Aku terpojok, aku mengedor-gedor pintu untuk keluar, aku berteriak menjerit, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku hanya menggedor-gedor dan terus menggedor-gedor pintu besi itu. Namun tak ada jawaban, tak ada yang menyelamatkanku kali ini, dan tangan-tangan mayat itu menggapai tubuhku. Aku menutup mata aku pasrah, kemudian aku mendengar suara, "jangan takut," Lalu kita mata kubuka, mereka sudah menghilang, mereka kembali mejanya masing-masing dan ditutup oleh selimut. Namun di hadapanku berdiri seorang bocah laki-laki, dia mengenakan kaos putih lengan panjang dengan jeans biru dan tanpa sepatu. dia berdiri di sana dan berkata. 'Semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja,'dia mendekapku dan aku mendekap dia, aku menangis dipelukannya lalu aku terbangun.”

Si Psikiater wanita menghadapi kasus yang baru yang tidak pernah dia hadapi sebelumnya, biasanya seseorang akan terbangun ketika berhadapan dengan mimpi buruk, dia terbangun dari mimpi ketika dia mati dalam mimpi, Tapi ini berbeda, seolah pasien bisa mengatur mimpinya sendiri, seolah dia membuat pertunjukan cinema-nya sendiri dengan kisah horor namun diakhir dengan happy ending.

Yang pasti pikiran gadis ini jauh lebih kacau daripada pasien sebelumnya yang tak bisa membedakan antara dunia mimpi dan dunia nyata. "Saya rasa kamu hanya butuh istirahat Virli,"

Si gadis itu mengangguk.

"Coba kamu ambil cuti dari pekerjaan kamu 1 atau 2 bulan, pekerjaan forensik memang membutuhkan mental yang kuat dan saya tahu kamu mencoba untuk kuat. Tapi, kamu hanya manusia biasa yang punya batasan, dan saya rasa kamu sudah mencapai titik batas itu."

Si gadis mencoba tersenyum. "Iya, anda benar, saya akan mengambil cuti besok,"

.  .  .


Ilustrasi dari trailer Hannibal the series

2 comments:

  1. Phew, that was intense.. :3

    Narasinya keren, saya merinding pas baca bagian yang tawa cekikikan.. Suka ngalamin soalnya.. :3

    btw, ini ngejelasin backstorynya si Virli sang behaviorist itu? Hmm, you've thought it very thouroughly.. Next one, please! ^^d

    ReplyDelete
  2. Wah, sorry Fan gw baru lihat komennya,

    Sebenarnya kemarin pengen gw kirim ke inbox, tapi gw pikir Ah nanti dulu dah,

    Masih banyak yg belum di edit

    ReplyDelete